Kamis, 04 November 2010

PEMAHAMAN INTERPRETASI DALAM SUATU PERUBAHAN HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

Untuk memenuhi tugas mata kuliyah sosiologi Hukum
Dosen Pembimbing : Arif Wijaya, SH, MH.























Oleh : Bondan Murdani 2008531003







FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSYIYYAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2010




PEMAHAMAN INTERPRETASI DALAM SUATU PERUBAHAN HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

Undang-undang pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) nomor 5 Tahun 1960 merupakan Undang-undang pertanahan yang pertama dibentuk dan susun oleh bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai landasan Idealdan Undang-undang dasar 1945 sebagai landasan konstitusi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dinyatakan sebagai Undang-undang Pokok Agraria, bukan undang-undang Pokok Pertanahan, dengan dasar pertimbangan bahwa pemakaian kata tanah akan memberikan arti terbatas pada muka bumi, sebangkan Agraria bererti Bumi, Air, dan kekeyaan alam yang terkandung didalamnya, serta ruang angkasa .Pembentukan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang kemudian mencantelkannya dengan pemahaman terhadap an engineering interpretation dan secara lebih berfokus kepada fungsi dan keberadaan hukum dalam masyarakatsebagaimana yang dikemukakan oleh Kohler.
UUPA nomor 5 Tahun 1960 disusun untuk penyederhanaan hukum, secara khusus terhadap hal-hal yang berkaitandengan masalah Agraria.Upaya ini ditempuh untuk menghindari dualisme hukum dinegara Republik Indonesia yang telah merdeka.
Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bererti telah terbentuk suatu political institution dan legal institution, yang akan memayungi kelompok-kelompok individudalam masyarakat.Lembaga dimaksud, lebih dikenal dengan nama Negara.kalau dikaitkan dengan pemahaman penulis terhadap bab VII, isi buku roscoe pound(an engineering Interpretation), maka terlihatbahwa terbentuknyaUUPA merupakan publicpolicy dari legal institutiondan political institution dalam mewujudkan balance of interest dari masyarakat Indonesiayang tersiri atas kurang lebih 13.000 buah pulau besar dan kecil, yang didiami oleh berbagai suku yang oleh van vollenhoven dikelompokkan menjadi 19 lingkungan masyarakat hukum adat.Masing-masing lingkungan hukum adat dimaksud, mempunyai legal order tersendiri yang mengatur kepentingan individu-individu dalam lingkungan masyarakat hukum adatnya.
Selain itu, pembentukan UUPA yang merupakanpublic policy,juga telah merupakan upaya dari legal institution dan political institution didalam mewujudkan suatu administrartion of justice, atau interest yang ada pada masing-masing individu pada lingkungan masyarakat hukum adat Idonesia.Bila hal itu dilihat dari kehidupan berbangsa dan bernegara, UUPA diharapkan mewujudkan suatu general security dari social interest didalam kehidupan manusia secara Indvidu, sehingga terwujud balance of interest.

1.UUPA Dipandang sebagai Produk Kebudayaan
Bila UUPA dilihat dari sudut pandang produk kebudayaan,maka dapat dikatakan bahwa didalam struktur masyarakat sederhana sekalipun pasti dihasilkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan.menurut selo soemardjan, tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksud merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang hidup bersama dalam masyarakat dilingkungannya. Dengan ciptanya, manusia dapat berpikir dan menciptakan tekhnologi guna memanfaatkan alam disekitarnya dan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnyadiciptakan benda kebutuhan hidup agar terhindar dari gangguan alam. Lain halnya rasa ,menimbulkan nilai-nilai subyektif dari tiap manusia mengenai baik buruk, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil.
Pengalaman pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu dihadapkan pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan membentuk tingkah laku masyarakat, yang secara langsung harus diindahkan dan dihormati oleh warga masyarakat dilingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuannya untuk mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dinamakan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau yang biasa dikenal dengan hukum adat.
Soepomo mengemukakan pengertian hukum adat sebagai hukum tidak tertulis didalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutry law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwenang (berwajib), tetap ditaati dan diduukung oleh rakyat yang berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari pengertian hukum adat dan timbulnya hukum adat yang berkembang dalam masyarakat, terlihat bahwa hukum adat itu merupakan hasil kebudayaan. Bila dikaitkan dengan peraturan tidak tertulis(hukum adat) dengan pembentukan hukum tertulis diIndonesia khususnya UUPA, akan terlihat komitmen pembentukan UUPA terhadap hukum tidak tertulis, sebagaimana tertulis, sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum UUPA yang secara tegas menyatakan:”... oleh karena masyarakat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agrariayang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan msayarakat dalam negara modern dan dengan hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisasi Indonesia.”
Uraian diatas dipertegas dengan pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa: ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa,....”
Berdasarkan penjelasan umum diatas dan isi pasal 5 UUPA, tampak bahwa hukum adat yang tercipta dari budaya individu dan akhirnya terbentuk suatu sisitem hukum yang berlaku kepada masyarakat hukum adatnya,diinterpretasikan oleh para legislator untuk disusun didalam suatu legal order yang dalam hal ini adalah hukum agraria, sehingga dalam proses pembentukan UUPA, hukum adat dijadikan sebagai sumber utama.
2. UUPA Dipandang sebagai Pemelihara Kebudayaan
Bila UUPA dilihat dari aspek sebagai pemelihara kebudayaan maka dapat di tunjukkan penjelasan umum(III angka alinea 2) yang menyatakan bahwa “Oleh karena rakyat Indonesia sebagaian besar tunduk kepada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat.”hal ini ditunjukkan bahwa legal order yang disusun akan tetap melindungi “hukum adat” yang merupakan perwujudan dari kebudayaan masyarakat hukum adat.
Lebih lanjut, pasal 3 UUPA memperlihatkan bahwa nilai-nilai dan norma-norma yang terwujud dari kebudayaan masyarakat tersebut akan tetap terlindungi. Oleh karena itu, tampak ada perlindungan dari Undang-undang yang baru terbentuk terhadap hak ulayat dari masyarakat hukum adat. Hak ulayat masyarakat masih dilindungi sepanjang hak tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat hukum adatnya. Secara lengkap pasal 3 UUPA menyatakan “ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional negara, uang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Dari isi pasal 5dan penjelasan umum (III angka 2), tampak bahwa pada masa sekarang hukum dipandang sebagai pemelihara kebudayaan, karena ia tetap mengakui hubungan kemasyarakatan yang mengandung nilai-nilai budaya yang sangat terkait dengan keberadaan hak atas tanah ulayat dimaksud.
Dari uraian –uraian diatas terdapat satu hal yang perlu dicatat, yaitu hukum adat tidak lagi merupakan hukum yang utama (terpenting) yang berlaku dan mengatur masyarakat dalam menuntut haknya, melainkan hukum adat hanya akan dijadikan sebagai salah satu hukum yang berlaku dalam masyarakat.Oleh karena itu, keberadaan hukum adat akan merupakn pelengkap dari hukum-hukum baru yang telah dibentuk. Dikatakan bahwa sebagai pelengkap karena apabila dalam hukum yang baru (UUPA) tidak diatur atau tidak ditemui ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang suatu kepentingan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat maka disini hukum adat akan diperlukan.Hal ini antara lain dapat dilihat pada pasal 56 UUPA, yang berbunyi “ selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuanhukum adat setempat dan peraturan-peraturan lain mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangn dengan jiwa dan ketentuan Undang-undang ini.”

3. UUPA Dilihat dari Aspek Memperkaya budaya
Dengan telah disusun dan diberlakukannya UUPA maka untuk melanjutkannya, undang-undang lain yang berkaitan dengan masalah agraria secara langsung tidak boleh bertentangan dengan UUPA itu. Sebagai contoh dapat dilihat dari pasal 56 diatas juga dapat dilihat dalam pasal 22 ayat 1 UUPA tentang terjadinya hak milik, yang menyatakan:”terjadinya hak mili menurut hukum adat diatur agar semua tanah didaftarkan, demi terwujudnya suatu kepastian hukum. Pasal 19 ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997) yang secara khusus mengatur tentang pendaftaran tanah. Dengan dilaksanakan pendaftaran tanah oleh masyarakat, timbul beberapa konsekuensi, diantaranya: masayarakat sudahmengenal adanya pemilikan pribadi berdasarkan bukti tertulis sebagaimana yang tertera dalam surat tanah (sertifikat). Alat bukti demikian sebelum berlakunya UUPA dan peraturan pelaksanaannya tidak pernah dikenal oleh masyarakat sehingga dalam transaksi selanjutnya masayarakat tidak akan lagi menggunakan hukum adat sebagai aturan yang mengaturnya, tetapi akan tunduk kepada hukum positif yang telah terbentuk berdasarkan UUPA.
Dalam hal UUPA dipandang memperkaya kebudayaan, hal itu akan terlihat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan agraria, yang tidak lagi menjadikan hukum adat sebagai sumber pokok sebagaimana yang dilaksanakan pada saat pembentukan UUPA, tetapi hukum adat hanya akan dijadikan sebagai salah satu sumber penting dalam pembentukan hukum yang berhubungan dengan agraria. Dari pemahaman dan uraian tentang an engineering interpretation, dapat ditarik beberapa asumsi sebagai berikut.
Dari apa yang diuraikan oleh Roscoe Pound dalam bukunya Interpretatiion of legal Huistory, secara khusus tentang an engineering interpretation, terlihat bahwa dalam kerangka ilmu pengetahuan hukum, dapat dilihat adanya hubunga-hubungan peristiwa hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan , sehingga interprestasi sangat dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan pergeseran kepentingan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, dengan memperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat yang selalu berkembangan. Pound mengemukakan bahwa law must be stable and yet it cannot stand still, maka untuk menghindari agar tidak terjadi stagnasi perdilan dan timbulnya pesimistis, dan mengantisipasi keridak pastian hukum, semua interprestasi yang dilakukan harus melalui analogi.
Roscoe Pound adalah penganut sociological jurisprudence, sehinggan interpretasi kohler dipakai sebagai paradigma dalam mengemukakan bagaimana melakukan analogi yang menggunakan pendekatan sosiologi dan filsafat. Pound hukum disamping hidup dan berkembang serat digunakan untuk mengatasi pergeseran kepentingan, juga dapat digunakan sebagai agent of social change dalam upaya untuk mengurangi pertentangan ditengah masyarakat.
Bila ditelusuri dari fungsi dan keberadaan hukum, dan dikaitkan denga jural jural postulates yang dikemukakan kohler, terlihat bahwa didalam UUPA, nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat mulai dikesampingkan dan digantikan oleh hukum yang baru didalam mengatur kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan sering timbul pertentangan kepentingan sebagaimana yang serin kita lihat dan kita saksikan.